Minggu, 25 Oktober 2009

INDONESIA DAN KEBEBASAN

Seorang teman pernah bercerita tentang seorang kenalannya yang berkewarganegaraan Singapura. Kabarnya ia lebih memilih tinggal di Indonesia ketimbang di negaranya. Kenapa? Bukankah di sana segala sesuatu serba tersedia. Masyarakatnya jauh lebih terpelajar. Kemudahan hidup dengan berbagai penunjang teknologi tingkat tinggi bisa ditemui dimana-mana. Pelayanan terhadap masyarakat pun jauh lebih berkualitas.

Ia hanya menjawab, karena di Indonesia saya bisa bebas melakukan apa saja. Tanpa adanya berbagai macam larangan yang berkaitan dengan disiplin hidup, dan tentunya tanpa semua denda berlipat yang mengikutinya.

Mendengar cerita ini muncul sebuah kegelian sekaligus keprihatinan. Bagaimanapun juga menjadi sebuah hal yang ironis, ada seseorang yang lebih “cinta” negara lain dengan alasan yang justru membuat negaranya memiliki kelebihan dibanding negara lain. Berbeda dengan alasan pemungutan pajak yang lebih rendah misalnya, yang mungkin relatif bisa diterima.

Keprihatinan yang muncul tentunya apabila kita mencoba merefleksikan alasan kebebasan hidup yang ia kemukakan dengan kondisi faktual di negara kita. Tanpa berusaha mengaitkannya dengan era reformasi, memang harus aku akui di negara ini kita benar-benar bisa hidup dengan “bebas” dalam arti yang sebebas-bebasnya.

Bukan pemandangan yang luar biasa apabila ada sebuah mobil mewah melintas di depan kita lalu menerbangkan sesuatu dari jendelanya yang sedikit terbuka ke jalan raya. Sesuatu itu bisa bermacam-macam. Bisa kulit rambutan, kulit duku, kertas tissue, puntung rokok, sampai gelas air mineral. Sebuah hal yang luar biasa apabila pemilik mobil mewah itu ternyata tidak terpelajar. Terlepas dari masalah kualitas otak, tampaknya bangsa Indonesia memang sudah sepakat menjadikan berpuluh ribu pulau wilayah kedaulatan bangsa sebagai tempat sampah terbesar di dunia. Silakan buang sampah di tempat yang anda suka.

Aku juga jadi ingat pemandangan beberapa minggu yang lalu. Ada seorang tukang koran yang dengan santainya (maaf) pipis di peruntukan lahan hijau sekeliling rumah kost-an tempat gue tinggal. Tempat pipisnya pun tidak jauh dari pertigaan yang padat oleh lalu lintas. Padahal ia bisa singgah sebentar ke masjid terdekat atau mencari WC umum.

Tampaknya ada lagi sebuah kesepakatan di antara warga bangsa. Indonesia juga adalah WC umum terbesar di dunia. Kebelet pipis? Take your spot anywhere. Sebuah pelayanan masyarakat tingkat tinggi yang sangat menjunjung tinggi kebebasan asasi manusia untuk pipis..

Selama kurang lebih setahun tinggal di dekat perempatan padat lalu lintas aku juga cukup mengamati bagaimana kecenderungan perilaku para pengendara. Yang paling aku ambil pelajaran adalah kapan waktu terbaik anda menyeberang jalan di perempatan. Secara normatif, ada korelasi yang cukup erat antara lampu merah dengan laju kendaraan. Lampu merah menyala, kendaraan berhenti, anda bisa menyeberang dengan tenang. Bahkan tanpa harus toleh kiri-kanan.

Faktanya tidak. Lampu merah menyala ternyata tidak lantas membuat orang menghentikan atau memperlambat laju kendaraan. Hampir di setiap saat lampu merah menyala banyak kendaraan justru berebut menggunakan kesempatan dalam kesempitan untuk secepatnya mencapai ruas jalan berikutnya. Alih-alih memperlambat dan kemudian menghentikan laju kendaraan, lampu merah menyala ternyata justru menjadi kode bagi mereka untuk menginjak gas kencang-kencang.

Hanya ada satu pilihan bagi para penyeberang. Benar-benar melihat sendiri dan memastikan bahwa semua kendaraan sudah berhenti di depan mata sebelum menyeberang. Itupun belum menjamin keamanan. Karena acapkali sebagian kendaraan yang ”belok kiri boleh langsung” melakukannya tanpa menyalakan lampu sen.

Terkadang aku membayangkan diri menjadi seorang Clark Kent dan bisa bebas menyeberang tanpa harus melakukan itu semua. Kalau kendaraan mereka ringsek menabrak aku toh bukan aku yang salah. aku tinggal terbang ke perempatan lain buat iseng-iseng melakukan hal yang sama. Sayang aku bukan Clark Kent.

Sebelum berlarut-larut dengan berbagai contoh yang lain, satu hal yang harus digarisbawahi. Mereka melakukannya dengan bebas tanpa konsekuensi apapun. Keliatannya konsekuensi baru muncul apabila ada nyawa yang melayang di perempatan. Atau ada pejabat pemerintah yang terganggu karena rumahnya bau pesing. Atau anggota DPR yang merasa pusing dengan bau sampah yang menyengat di lingkungannya.

Jadi apa kesimpulannya. Kalau anda adalah seorang opportunis, silakan nikmati “kebebasan” yang anda peroleh di negara ini. Tetapi kalau anda seorang idealis, tampaknya anda harus sering-sering melakukan terapi anger management.

AKREDITASI PAUD


Pendidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Pada tahun ini, lembaga pendidikan nonformal kursus, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan pendidikan anak usia dini mulai diakreditasi.

Akreditasi akan disesuaikan dengan karakter pendidikan nonformal serta dilakukan untuk mendukung perkembangan pendidikan nonformal.

Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN PNF) Yessi Gusman mengatakan, Selasa (31/3), para anggota BAN PNF masih menyusun instrumen untuk akreditasi terhadap tiga jenis lembaga pendidikan nonformal itu. Instrumen tersebut nantinya akan diujicobakan dan disosialisasikan lalu setelah itu baru diimplementasikan.

Para anggota BAN PNF akan merujuk ke delapan standar nasional pendidikan sebagai syarat yang berkaitan dengan kelembagaan. Selain itu, ada berbagai hal lain yang akan diperjelas, misalnya persoalan badan hukum lembaga pendidikan nonformal.

"Kami masih mempertimbangkan, apakah pendidikan anak usia dini atau PAUD perlu berbadan hukum atau tidak? Kami harus melihat keragaman pendidikan nonformal yang ada di masyarakat," kata Yessi.

Dia mengambil contoh, untuk PAUD di daerah terpencil membuat akta notaris tentu mahal biayanya. Padahal, ada PAUD yang bergerak dengan dana sangat terbatas.

Hasil akreditasi nantinya berbeda dengan akreditasi pendidikan formal yang mengenal klasifikasi A, B, dan C. Adapun untuk akreditasi pendidikan nonformal hasilnya berupa pernyataan terakreditasi dan tidak terakreditasi.

Masyarakat terbantu

Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi itu dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. "Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan," ujar Yessi.

Kegiatan akreditasi sebetulnya telah dilaksanakan mulai tahun 2007, tetapi baru akreditasi terhadap program. Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009.

Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan 2008, ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009 direncanakan total 1.850 lembagadan program akan diakreditasi.

Keikutsertaan dalam akreditasi bersifat sukarela. Yessi mengatakan, ada juga lembaga-lembaga pendidikan nonformal berkualitas dan telah terkenal tidak berkeinginan mengikuti akreditasi. "Jika suatu lembaga itu telah terbukti di masyarakat mempunyai program yang bagus, pasti akan lolos akreditasi," ujarnya.

Yessi dan 12 anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 2006 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain lembaga profesional, kursus, dan lembaga nonprofit seperti majelis taklim, taman bacaan masyarakat, dan pusat kegiatan belajar masyarakat.

Tidak mematikan

Penggiat pendidikan alternatif, Yanti Sriyulianti, mengatakan, akreditasi penting sejauh sebagai pertanggungjawaban umum lembaga pendidikan nonformal kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang menjadi peserta lembaga pendidikan nonformal tidak dirugikan.

Akan tetapi, tetap harus diberi kesempatan luas bagi inovasi di lapangan. Prinsip dasar pendidikan nonformal ialah belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja.

"Kalau nonformal diakreditasi dengan parameter terlalu kaku dan keras akan sangat menyulitkan pertumbuhan pendidikan nonformal," ujarnya. Bahkan, menurut Yanti, akreditasi cukup sebatas kompetensi para lulusan lembaga nonformal tersebut dan status hukum lembaga itu.

Kehadiran lembaga pendidikan nonformal dengan segala keragamannya masih sangat dibutuhkan. Apalagi, lembaga pendidikan formal belum sepenuhnya dapat diakses masyarakat.(INE)

KOMPAS - Rabu, 01 Apr 2009 Halaman: 12

AKREDITASI PAUD

endidikan nonformal mulai diakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal. Pada tahun ini, lembaga pendidikan nonformal kursus, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan pendidikan anak usia dini mulai diakreditasi.

Akreditasi akan disesuaikan dengan karakter pendidikan nonformal serta dilakukan untuk mendukung perkembangan pendidikan nonformal.

Sekretaris Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN PNF) Yessi Gusman mengatakan, Selasa (31/3), para anggota BAN PNF masih menyusun instrumen untuk akreditasi terhadap tiga jenis lembaga pendidikan nonformal itu. Instrumen tersebut nantinya akan diujicobakan dan disosialisasikan lalu setelah itu baru diimplementasikan.

Para anggota BAN PNF akan merujuk ke delapan standar nasional pendidikan sebagai syarat yang berkaitan dengan kelembagaan. Selain itu, ada berbagai hal lain yang akan diperjelas, misalnya persoalan badan hukum lembaga pendidikan nonformal.

"Kami masih mempertimbangkan, apakah pendidikan anak usia dini atau PAUD perlu berbadan hukum atau tidak? Kami harus melihat keragaman pendidikan nonformal yang ada di masyarakat," kata Yessi.

Dia mengambil contoh, untuk PAUD di daerah terpencil membuat akta notaris tentu mahal biayanya. Padahal, ada PAUD yang bergerak dengan dana sangat terbatas.

Hasil akreditasi nantinya berbeda dengan akreditasi pendidikan formal yang mengenal klasifikasi A, B, dan C. Adapun untuk akreditasi pendidikan nonformal hasilnya berupa pernyataan terakreditasi dan tidak terakreditasi.

Masyarakat terbantu

Masyarakat dapat terbantu dengan adanya akreditasi itu dalam menentukan lembaga pendidikan nonformal yang ingin dimasuki. "Dengan akreditasi tersebut, lembaga telah memenuhi standar berdasarkan instrumen yang nanti ditetapkan," ujar Yessi.

Kegiatan akreditasi sebetulnya telah dilaksanakan mulai tahun 2007, tetapi baru akreditasi terhadap program. Telah ada instrumen akreditasi untuk 12 jenis program dan akan ditambahkan dua jenis program lagi tahun 2009.

Satu lembaga nonformal dapat mempunyai lebih dari satu program. Sampai dengan 2008, ada total 491 program dari sejumlah satuan pendidikan nonformal yang diakreditasi. Tahun 2009 direncanakan total 1.850 lembagadan program akan diakreditasi.

Keikutsertaan dalam akreditasi bersifat sukarela. Yessi mengatakan, ada juga lembaga-lembaga pendidikan nonformal berkualitas dan telah terkenal tidak berkeinginan mengikuti akreditasi. "Jika suatu lembaga itu telah terbukti di masyarakat mempunyai program yang bagus, pasti akan lolos akreditasi," ujarnya.

Yessi dan 12 anggota BAN PNF diangkat pada Oktober 2006 dan bertugas untuk membantu pendidikan nonformal yang cakupannya antara lain lembaga profesional, kursus, dan lembaga nonprofit seperti majelis taklim, taman bacaan masyarakat, dan pusat kegiatan belajar masyarakat.

Tidak mematikan

Penggiat pendidikan alternatif, Yanti Sriyulianti, mengatakan, akreditasi penting sejauh sebagai pertanggungjawaban umum lembaga pendidikan nonformal kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang menjadi peserta lembaga pendidikan nonformal tidak dirugikan.

Akan tetapi, tetap harus diberi kesempatan luas bagi inovasi di lapangan. Prinsip dasar pendidikan nonformal ialah belajar di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja.

"Kalau nonformal diakreditasi dengan parameter terlalu kaku dan keras akan sangat menyulitkan pertumbuhan pendidikan nonformal," ujarnya. Bahkan, menurut Yanti, akreditasi cukup sebatas kompetensi para lulusan lembaga nonformal tersebut dan status hukum lembaga itu.

Kehadiran lembaga pendidikan nonformal dengan segala keragamannya masih sangat dibutuhkan. Apalagi, lembaga pendidikan formal belum sepenuhnya dapat diakses masyarakat.(INE)

KOMPAS - Rabu, 01 Apr 2009 Halaman: 12